Postingan

Hutan Ilusif: Gawai

Gambar
  Di awal kegunaannya, gawai hanya menjadi media komunikasi sederhana. Menelpon dan mengirimkan pesan singkat atau Short Message Service (SMS). Sekitar tahun 90-an meskipun sudah muncul blogger sebagai blog pribadi dimana individu bisa bebas bercerita mengenai aktivitasnya, gawai tetap berfungsi secara sederhana. Aktivitas di dunia maya lebih banyak dihabiskan melalui PC sehingga menjamur warung internet dimana-mana. Selanjutnya, sekitar 2000-an Friendster mulai dikenal luas dan booming. Fenomenal. Setelahnya berbagai media sosial berlomba untuk mengisi ruang maya masyarakat, seperti Line, My Space, Facebook, Twitter, Google, WhatsApp, BBM, You Tube, Instagram, dan sebagainya. Seiring perkembangan berbagai media sosial, gawai juga turut berkembang. Fungsinya semakin luas, tidak lagi terbatas pada menelpon dan mengirim SMS. Bahkan untuk mengakses kebutuhan-kebutuhan pokok saat ini juga bisa dilakukan dengan gawai yang ada di genggaman. Selain tentu saja kebutuhan sekunder dan ter

Menakar Tingkat Residivisme

Gambar
  wahyu saefudin Awal pandemi Covid-19 publik tidak hanya diramaikan dengan berita mengenai tingkat bahaya risiko penularan. Gelombang pemutusan hubungan kerja menghampiri sebagian masyarakat. Pengangguran terjadi di mana-mana. Kemudian, permasalahan lain juga mencuat, yang paling fundamental, terkait dengan kebutuhan fisiologis: makan dan minum. Salah satu kebijakan yang juga tidak terlepas dari sorotan adalah asimilasi Covid-19 bagi warga binaan pemasyarakatan. Masyarakat khawatir dengan keberadaan warga binaan di tengah-tengah mereka, di tengah kondisi yang serba sulit. Bagaimana mungkin di kondisi yang mencari kerja saja sulit, malah mengeluarkan warga binaan dan kembali ke masyarakat? Begitu kira-kira pertanyaan dari masyarakat, hasil wawancara penulis dengan berbagai individu dari lapisan masyarakat yang berbeda. Kebijakan yang ramai itu, dituangkan dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) 10/2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi Bagi Narapid

Menjadi Penyintas Covid-19

Gambar
    Wahyu Saefudin Sabtu, 28 November 2020 kemarin, hasil polymerase chain reaction test (Tes PCR) dengan metode real time, yang saya lakukan di Dinas Kesehatan Kalbar keluar. PCR adalah pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi keberadaan material genetik dari sel, bakteri, atau virus. Saat ini, PCR juga digunakan untuk mendiagnosis penyakit COVID-19, yaitu dengan mendeteksi material genetik virus Corona. Prosedur pemeriksaan diawali dengan pengambilan sampel dahak, lendir, atau cairan dari nasofaring (bagian antara hidung dan tenggorokan), orofaring (bagian antara mulut dan tenggorokan), atau paru-paru pasien yang diduga terinfeksi virus Corona. Saya sendiri diambil sampel dahaknya melalui lubang hidung. Pertama di sebelah kanan, sejurus kemudian pindah ke sebelah kiri. Pengambilan sampel dahak ini prosedurnya memakan waktu sekitar 15 detik dan tidak menimbulkan rasa sakit. Tapi, dapat mengeluarkan air mati. Dari hasil tes tersebut, saya positif, meskipun tidak ada satu

Menyemai Toleransi di Awal Tahun 2021

Gambar
  Wahyu saefudin “Bibit dari radikalisme yang penuh kebencian adalah rendahnya penerimaan diri.” Radikalisme masih menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan di tahun 2020. Bahkan di penghujung tahun, Densus 88 berhasil melakukan penggerebekan di pusat latihan jaringan teroris Jamaah Ismaliyah yang terletak di Desa Gintungan, Bandungan, Semarang. Kabarnya, pusat latihan untuk para anggota muda ini juga merekrut anak muda cerdas untuk menjadi pasukan VVIP. Sebulan sebelumnya kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) diduga kuat melakukan pembantaian di Sigi dengan mengatas namakan agama. Agaknya harus ada cara lain untuk membendung ini.    Seorang dewasa yang tumbuh arogan dan selalu merasa benar adalah gambaran dari masa kecil yang tak pernah disemai benih penerimaan. Bagaimana menyikapi perbedaan, menerima keberagaman, tentu merupakan sebuah perjalanan panjang. Proses internalisasi ini tidak terjadi dalam satu atau dua hari. Sebab, modifikasi perilaku adalah pekerjaan rumah

Menulis sebagai Medium Mewujudkan HAM di Lapas Anak

Gambar
    Pembahasan mengenai hak asasi manusia, seringkali kita lihat dari dialog-dialog di acara televisi, termasuk pada mimbar akademik, baik melalui seminar maupun lokakarya. Tidak terkecuali jurnal-jurnal ilmiah bereputasi. Bagi kalangan awam, HAM secara konseptual barangkali sulit untuk dipahami, meskipun sudah lebih dari setengah abad diperingati setiap tanggal 10 Desember. Akan tetapi, dalam hal implementasi, masyarakat Indonesia dengan keanekaragaman suku dan budaya sudah jauh-jauh hari menerapkan. Secara konsep hukum dan normatif hak asasi manusia melekat pada individu, berlaku kapanpun, dimanapun, dan kepada siapapun, sehingga bersifat universal. HAM sendiri dalam implementasinya dialamatkan pada negara. Sehingga negara harus mengemban kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia. Termasuk di dalamnya dengan mencegah dan menindaklanjuti pelanggaran. Hak yang sudah melekat pada individu ini, juga tidak terbatas pada individu dewasa saja. Melainkan j

Relativitas Kesuksesan

Sabtu lalu, 18 April 2020, saya melakukan sebuah wawancara beasiswa. Itu adalah beasiswa yang diberikan oleh pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat. Saya mendapatkan nomor urut 148 untuk tujuan pemberangkatan yang sama, Malaysia. Wawancara itu berlangsung singkat, tidak lebih dari 20 menit. Ada dua pewawancara. Semuanya dilakukan menggunakan bahas inggris. Dan menggunakan aplikasi whatsapp video call. Salah satu pewawancara, saya mengenali sebagai Direktur program beasiswa tersebut (?). Karena saya pernah melihat wajahnya dalam booklet beasiswa yang berulang kali saya baca itu. Satunya lagi, (nampak) akademisi. Barangkali seorang dosen di Universitas Mataram. Itu dari hasil observasi saya karena melihat tumpukan buku bacaan di balik punggungnya. Ada beberapa pertanyaan yang sudah saya siapkan sekaligus jawabannya, hanya saja tidak ditanyakan. Sehingga saya menuliskannya di sini. Padahal ini adalah pertanyaan yang ketika saya menuliskan jawabannya memakan waktu lebih l

Heri, Sebenarnya (Nggak) Pelupa

Gambar
Berharap Heri tidak lupaan, seperti berharap nyamuk yang sudah berevolusi jutaan tahun silam itu tidak lagi menghisap darah untuk bertahan hidup, melainkan mengganti sayapnya menjadi panel surya. Tapi, itu bukanlah sebuah dosa besar, lupa dalam hemat saya selalu melekat pada pribadi yang penyayang dan dekat dengan keluarga. Itu setidaknya hasil penelitian mendalam atau kata Pak Husni in deep research terhadap dua orang sampel, ya salah satunya Heri, salah duanya Mas Roni, kan kualitatif dua juga sudah sah. Meskipun sulit untuk di generalisasi, dan nggak tahu reliabel atau validnya di mana. Bukankah, konsistensi (reliabel) adalah ketidakkonsistenan itu sendiri? Hipotesis yang saya ajukan adalah seperti ini, Hubungan Suami yang Sering Lupa dengan Kepuasan dan Kelekatan dalam Rumah Tangga . Hasilnya sungguh di luar dugaan. Ya, artinya tidak ada hasil yang bisa diduga. Dalam, buku Sapiens, buku yang masuk daftar buku yang wajib dibaca itu , Harari menuliskan, secara